Demokrasi
saat ini banyak dibajak oleh kelompok mayoritas yang terjadi di berbagai
daerah. Cita-cita demokrasi sebagaimana diamanatkan Pancasila sila keempat
“....dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan...”
senyatanya tidak lagi berlaku. Yang memimpin kerakyatan saat ini adalah uang.
Sekarang ini, hampir dikatakan
kedaulatan rakyat dalam pelaksanaan demokrasi hanya tertuang dalam teks.
Selebihnya, nilai-nilai demokrasi, kerakyatan, dan kedaulatan hampir tidak
terinternalisasi sebagai nilai-nilai kebersamaan yang harus dijunjung tinggi.
Ini membuktikan bahwa demokrasi sudah keluar dari tujuannya.
Alasan agama dijadikan sebagai
pemicu utama perdebatan. Prinsip ketuhanan dan demokrasi menjadi pilihan.
Kuatnya suatu negara adalah dengan dasar permusyawaratan. “Dengan cara mufakat,
kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan
atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat,” jelas Soekarno 1 Juni
1995. Hatta juga mengatakan, “Kalau Indonesia sampai merdeka, mestilah ia
menjadi kerajaan rakyat, berdasar kemauan rakyat.”
Demokrasi perwakilan juga diimbangi
dengan partisipasi luas dan terbukanya ruang-ruang publik.
Inti sila keempat adalah kesesuaian
sifat-sifat dan hakikat negara dengan sifat-sifat dan hakikat rakyat. Dalam
kaitannya dengan sila keempat ini, maka segala aspek penyelenggaraan negara
harus sesuai dengan sifat-sifat dan hakekat rakyat, yang merupakan suatu
keseluruhan penjumlahan semua warga negara, yaitu Negara Indonesia.
Karena itu, penyelenggaraan negara
tidak terletak pada satu golongan tertentu. Dalam hal ini, negara berdasarkan
atas hakikat rakyat, tidak pada golongan atau individu. Negara berdasarkan atas
permusyawaratan dan kerjasama dan berdasarkan atas kekuasaan rakyat.
Relevansi
dengan Putusan MK
Jika dilihat dari putusan-putusan MK
atas kewenangannya memutus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), baik pemilu
legislatif, kepala daerah, atau presiden adalah cerminan demokrasi yang sedang
berlangsung dikontrol dengan berdasarkan prinsip-prinsip hukum. Artinya,
siapapun yang berkompetisi jika menang dengan cara-cara curang, hukum harus
bertindak dan menyelesaikan secara adil.
Contoh kasusnya adalah pada PHPU
Kepala Daerah Jatim. Demokrasi yang bersumber dari nilai kerakyatan dalam
Pancasila tidak dibangun untuk segelintir kelompok tertentu, apalagi sampai
melakukan tindakan kecurangan yang berakibat signifikan.
Apabila terjadi pelanggaran yang
sistematis, terstruktur, dan masif, MK tidak hanya memutus pemungutan suara
ulang atau penghitungan suara ulang, akan tetapi mendiskualifikasi pasangan
pemenang dan menetapkan pasangan terpilih. Tidak hanya itu, pelanggaran yang
beragam pada tahapan Pemilukada, MK juga memutuskan antara lain:
mendiskualifikasi pasangan calon, mensertakan kembali calon yang tidak
diloloskan KPU, memerintahkan pemungutan suara untuk pemilih yang belum memilih
dan lain sebagainya.
Relevansi putusan MK dan Pancasila
adalah sesuatu yang penting, karena Pancasila itu final, seperti final dan
mengikatnya putusan MK. Konstitusi sebagai kesepakatan bersama, bisa jadi suatu
saat akan berubah seiring perkembangan zaman. Masyarakat dengan segenap hikmat
kebijaksanaannya, hanya berharap pengelola negara ini memang negarawan yang
benar-benar bijaksana dalam tiap langkahnya. (Abdullah Yazid/Miftakhul Huda)
0 komentar:
Posting Komentar